Potret Islam yang Makin Baik

Saya biasa menjumput informasi dari mana saja. Dalam soal ini saya mengikuti wejangan Imam Ali bin Abi Thalib: “Jumputlah hikmah dari sumber apa saja ia berasal.” Kata saya, “Dari mulut setan sekalipun.”

Satu sumber yang belakangan makin sering saya gunakan adalah film-film. Baik yang dokumenter, berdasarkan fakta, atau bukan, atau campuran keduanya.

Apalagi film-film yang terkait dengan Islam, salah satu minat utama saya, makin banyak dibuat orang belakangan ini. Baik orang-orang Islam sendiri, misalnya sejumlah sutradara Iran yang makin memperoleh pengakuan internasional, maupun bukan.
Artikel Terkait

Di bulan puasa seperti sekarang, film-film jadi andalan utama saya. Selain tak banyak menguras energi, menonton film bukan saja bisa menambah wawasan, tapi juga meningkatkan iman. Jadi saya berharap dapat dua pahala sekaligus....

Anda cobalah sesekali, sambil menunggu saat buka puasa. Saran saya, mulailah dengan menonton film-film dokumenter tentang film-film itu sendiri. Artinya, menonton “peta” tentang bagaimana Islam ditampilkan dalam film-film. Anggaplah seperti “peta” yang dibuat para surveyor politik sebelum pilkada.

Satu film dokumenter yang bagus untuk itu berjudul “Reel Bad Arabs”, berdurasi 50 menit (produksi 2006), yang bisa Anda saksikan di Youtube. Ini film dokumenter tentang bagaimana Hollywood menggambarkan orang-orang dan budaya Arab.

Saya tahu bahwa Islam tak identik dengan Arab. Tapi siapa berani bilang bahwa Islam bisa sepenuhnya dipisahkan dari Arab? Atau bahwa gambaran mengenai Arab tidak juga memengaruhi gambaran mengenai Islam? So, hingga tingkat tertentu ini juga dokumenter tentang Islam.

Film ini diangkat dari buku terkenal karangan Jack Shaheen dengan judul sama. Keduanya mengulas bagaimana Hollywood, industri terbesar perfilman dunia, merusak dan memanipulasi citra orang-orang Arab. Kata Shaheen, ini sudah berlangsung sejak awal ditemukannya film-film tanpa suara dan terus berlangsung hingga kini. Menurutnya, Hollywood selalu menggambarkan orang Arab sebagai manusia yang selalu dicirikan oleh tiga “B”: belly dancers, billionaire sheiks, dan bombers.

Ini berbahaya, karena film seringkali menjadi media pertama bagi rakyat Amerika Serikat (AS) untuk mengenal budaya bangsa-bangsa lain. Sebagai anak keturunan keluarga Kristen Lebanon di AS, Shaheen punya alasan personal untuk marah dengan stereotipe ala Hollywood itu. Sesudah pensiun dari mengajar di Southern Illinous University, AS, dia bekerja sebagai peneliti lepas di Universitas Oxford, Inggris, yang kuliah-kuliah dan tulisan-tulisannya menunjukkan bagaimana stereotipe rasial dan etnis bisa membahayakan hidup orang-orang tak berdosa.

Foto: Jack Shaheen (sbu.edu)Foto: Jack Shaheen (sbu.edu)
Kata Shaheen, dia merasakan sendiri bagaimana model stereotipe di atas, yang diulang dan diulang kembali dalam berbagai film, lama-lama menghancurkan kemanusiaan orang-orang Arab. Dia menunjukkan bagaimana bertahannya citra-citra mengenai orang-orang Arab ini seperti membenarkan sikap yang penuh prasangka terhadap mereka. Yang lebih membahayakan adalah terbentuknya kebijakan luar negeri pemerintahan AS terhadap negara-negara Arab yang didasarkan atas pandangan yang salah ini.

Kesimpulan di atas diperoleh sesudah Shaheen menyaksikan sekitar 900 film. Film-film itu bervariasi, dari kartun-kartun buatan Disney seperti Aladin, yang memenangkan Oscar, hingga True Lies, film aksi tentang teroris Arab-Muslim yang pernah meraih box office. Katanya, dari jumlah itu, hanya sekitar 50 film yang menggambarkan orang-orang Arab secara netral. Sementara itu, yang menggambarkan obyek itu dengan citra yang positif lebih sedikit lagi. “Bisa dihitung dengan jari,” aku Shaheen.

Lebih detail lagi, film-film itu dicirikan oleh empat hal yang menonjol. Pertama, sifat dan perilaku orang-orang Arab Arab selalu digambarkan jelek dan jahat sebagai seorang “teroris” yang menyebabkan pemboman, ledakan dan serangan, bahkan dilakukan oleh anak perempuan. Kedua, watak orang-orang Arab digambarkan selalu kekanak-kanakan dan berwawasan pendek, yakni yang selalu naif, hanya mencari kesenangan, memenuhi hawa nafsu, dan sangat berlebih-lebihan. Ketiga, budaya dan orang-orang Arab selalu diidentikkan dengan sifat ke-Badui-an, masih sangat jauh dari peradaban dan ilmu pengetahuan, dan hampir selalu “dilengkapi” dengan peralatan “tenda” dan “unta”. Keempat, watak orang Arab ditampilkan sebagai arogan tetapi gagap, represif terhadap perempuan, dan jauh sekali dari emosi dan romansa.

Aladin, misalnya, dimulai dengan lagu yang liriknya berbunyi: “Oh I come from a land, from a faraway place / Where the caravan camels roam / Where they cut off your ear / If they don’t like your face / It’s barbaric, but, hey, it’s home!” Lirik ini baru belakangan diubah, sesudah banyak menuai protes dari orang-orang Arab-Amerika.

Lalu lihatlah True Lies, yang di Indonesia juga sempat menuai protes. Di situ digambarkan bagaimana seorang teroris Muslim, seraya berseru “Allah Akbar”, tidak mengenal belas kasihan kepada perempuan dan anak-anak yang disanderanya. Dan “hebatnya” lagi, dia seperti tidak mati-mati, dan baru bisa dienyahkan ketika Arnold Schwarzenegger, si hero Amerika di film itu, mengirimkannya ke “Sang Pencipta” di udara lewat missil!

Dalam dokumenter ini, Shaheen ini juga berusaha menjelaskan beberapa motivasi di balik berbagai stereotipe buruk mengenai orang-orang Arab di atas. Semuanya terkait baik dengan momen-momen penting tertentu dalam sejarah AS maupun sekarang. Katanya, “Hollywood dan Washington punya gen yang sama.” Berbagai peristiwa politik dan ekonomi, seperti krisis tingginya harga minyak di AS akibat penolakan negara-negara Arab untuk mengimpor minyak ke AS, revolusi Iran, berbagai kegiatan Al-Qaeda, peristiwa September 11 dan beragam peristiwa lainnya -semuanya menjadi bahan bakar bagi tumbuhnya citra Arab yang buruk di keluarga-keluarga AS.

Untungnya, kata Shaheen, citra di atas belakangan mulai berubah. Salah satu contoh film yang dianggap menggambarakan orang-orang Arab secara manusiawi, jadi bukan stereotipikal, adalah A Perfect Murder (1998). Film ini menggambarkan bagaimana seorang Arab-Amerika berhasil memimpin penyelesaian satu kasus pembunuhan yang ditangani FBI. Dalam menjalankan tugasnya,si agen beberapa kali menjalin komunikasi berbahasa Arab dengan perempuan yang menjadi korban (diperantan Gwyneth Paltrow), menunjukkan kelembutannya dan kedekatannya dengan keluarga.

Saya setuju bahwa perkembangannya makin baik. Film favorit saya sendiri kurang dibahas Shaheen, yakni Robin Hood: Prince of Thieves (1991). Film ini menampilkan Azeem, seorang Muslim Spanyol yang cerdas, inovatif, sehebat Robin –tokoh utama film itu– baik sebagai ksatria maupun humanis. Bersama Robin di pedalaman Inggris, Azeem digambarkan amat berjasa membantu penduduk tertindas dari kelaliman raja Inggris. Azeem juga digambarkan amat taat menjalankan perintah-perintah agamanya: menebar sajadahnya di tengah hutan, menghadap kiblat, salat. Dia juga digambarkan menolak ajakan Robin untuk minum alkohol: “Saya tidak mau, Allah melarangnya.” Robin mengakui tingginya rasa kemanu­siaan Azeem: “Kamu orang hebat,” katanya.

Belakangan film-film sejenis makin banyak beredar, seperti 13th Warriors (1999) atau Kingdom of Heaven (2005). Dan seperti mencerminkan kegagalan kepemimpinan George Bush di AS, film-film yang kritis mempertanyakan “kehebatan” AS dan “kebiadaban” Arab belakangan malah seperti membanjiri pasar. Itu baik dalam bentuk film-film fiksi seperti Redacted, Lions of Lambs, Charlie Wilson’s War dan In the Valley of Elah, atau film-film dokumenter seperti Guantanamo dan Taxi to the Dark Side.

Mudah-mudahan kecenderungan seperti ini terus berlangsung. Sehingga kemungkinan mencari titik-titik temu di antara berbagai kelompok orang dan peradaban makin terbuka lebar.

Dan sambil menunggu buka puasa, Anda bisa menambah wawasan dengan menyaksikan film-film bagus itu. Juga mempercakapkannya dengan keluarga atau pasangan. Bisa juga dengan me-mention-nya ke kawan-kawan di seberang samudera, lewat Twitter atau Facebook.

Ihsan Ali-Fauzi
* Direktur Program, Yayasan Wakaf Paramadina

0 Response to "Potret Islam yang Makin Baik"

Posting Komentar