Jakarta Post telah menjadi penengah diskusi dengan menghadirkan sudut pandang Julia Suryakusuma yang membuktikan bahwa perempuan bisa menjadi patriakal, alias berpandangan bahwa perempuan adalah makhluk kelas dua di masyarakat (JP, 27 Juni). Artikel Julia menjawab ketidaknyamanan yang disebabkan oleh laporan berita Jakarta Post sebelumnya bahwa RUU KKG tidak disetujui oleh perempuan sendiri (JP, Juni 19). Artikel ini bermaksud untuk meneguhkan posisi Julia tentang mengapa Indonesia memererlukan UU KKG dengan menggunakan temuan dari Laporan Pembangunan Dunia 2012: Kesetaraan Gender dan Pembangunan (World Development Report 2012: Gender Equality and Development).
Tujuan dari kesetaraan gender adalah akses yang sama [bagi perempuan dan laki-laki] terhadap pendidikan, kepemilikan aset, peluang ekonomi dan pendapatan untuk meningkatkan kesejahteraan (hlm. 7). Laporan tersebut menyatakan bahwa berkurangnya kesenjangan gender mendorong kesejahteraan dan pembangunan melalui perbaikan di bidang hak asasi manusia, pendidikan, kesehatan dan akses terhadap pekerjaan dan mata pencaharian.
Namun laporan tersebut menunjukkan bahwa negara-negara berkembang memiliki kesenjangan gender terburuk, terutama dalam jumlah angka kematian perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Laporan ini memperkirakan sebanyak 3,9 juta perempuan meninggal setiap tahunnya disebabkan oleh kematian ibu, gizi buruk pada anak-anak dan aborsi selektif karena preferensi untuk anak.
Alasan pertama mengapa Indonesia memerlukan RUU kesetaraan gender adalah karena di negara ini, angka kematian ibu tetap tinggi dibanding negara lain di kawasan Asia Timur dan Pasifik yang menikmati tingkat pembangunan yang sama.
Negara ini belum menunjukkan upaya memperbaiki fakta ini, khususnya untuk meningkatkan kondisi perempuan di daerah pedesaan dan kawasan terpencil. Kesehatan di daerah yang jauh dari ibukota sangatlah terbatas. Hanya 33 persen kelahiran di Maluku yang dihadiri oleh ahli kesehatan terampil baik bidan maupun dokter, dibandingkan dengan 97 persen di Jakarta (Laporan Regional, hlm. 41).
Laporan tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih berada dalam posisi yang setara dengan Banglades, Kamboja dan India karena mereka memiliki rasio kematian ibu seperti Swedia jaman tahun 1900-an. Pasal 9 dalam RUU KKG yang diusulkan menuntut jaminan untuk layanan kesehatan masyarakat terutama kesehatan ibu.
Alasan kedua adalah bahwa RUU tersebut akan memberikan perlindungan bagi perempuan di ranah publik. Sebuah pernyataan oleh seorang perempuan Indonesia yang dikutip dalam laporan ini menyatakan, “Anak-anak bisa bebas seperti yang mereka inginkan dan kondisi itu diterima saja. [Sementara] Perempuan tidak bisa keluar di malam hari. Anak laki-laki bisa pergi ke mana pun mereka inginkan” (hlm. 283).
Ironisnya adalah bahwa 70 persen perempuan Indonesia, dibandingkan dengan 60 persen prianya, cenderung bekerja di sektor informal yang tidak mampu memberikan keamanan di tempat kerja, keadilan jam kerja, gaji dan infrastruktur dan juga keamanan pergi-pulang kerja.
Yang lebih mendesak adalah bahwa Indonesia tidak memiliki hukum yang mengatur pelecehan seksual di tempat kerja, dan oleh karena itu RUU kesetaraan gender mungkin cara yang baik untuk memulai.
RUU KKG yang diusulkan mendukung kesamaan hak perempuan dan pria untuk bekerja di semua sektor; akses yang sama terhadap pelatihan kerja; upah yang sama untuk pekerjaan yang sama; dan dijamin perlindungan sosial, kesehatan dan keselamatan (Pasal 8).
Ini bukan hal buruk untuk dituntut, tapi mengapa ada perempuan yang memprotes RUU yang diusulkan?
Alasan ketiga adalah bahwa RUU itu akan bertindak sebagai katalis untuk mengubah pola pikir represif. Artikel Julia menjelaskan bahwa perempuan dapat memiliki pola pikir patriarkal, seperti dia mencontohkan ibunya sendiri yang mendukung perempuan sebagai pengikut laki-laki atau konco wingking.
Persepsi patriakal ini juga digambarkan dalam Laporan Pembangunan Dunia 2012. Hasil survei atas persepsi masyarakat terhadap pemukulan istri dan apakah tindakan tersebut dapat dibenarkan dalam situasi seperti 1/ ketika makanan yang dibuang (oleh istri), 2/ ketika istri sedang bertengkar dengan suami, atau 3/ menolak melakukan hubungan seks hasilnya mengejutkan. Di Ethiopia dan Guinea, lebih dari 80 persen perempuan setuju bahwa pemukulan istri dapat dilakukan. Di Indonesia, kurang-lebih 30 persen perempuan sepakat (hlm. 83).
Seorang pria Tanzania yang komentarnya dikutip dalam laporan ini mengatakan, “Saya pikir bahwa perempuan sekarang merupakan masalah: mereka [bisa] mendapatkan uang dan tidak lagi mendengarkan kami. Jadi, jika Anda ingin terus menjadi seorang pria di rumah, Anda perlu membawa disiplin. Anda harus memukulinya, dan jika anak campur tangan, Anda juga sedianya memukuli mereka. Dengan begitu mereka takut dan menghormati Anda.”
Euis Sunarti, dalam artikel yang diterbitkan Jakarta Post tanggal 19 Juni, mengatakan bahwa, “Sebagai semakin banyak perempuan yang semakin pintar karena mereka memiliki akses yang lebih baik untuk pendidikan, mereka dapat dengan mudah menantang suami mereka dan minta bercerai.” Tidakkah Euis dan organisasinya, Majelis Intelektual Ulama Muslim Indonesia (MIUMI), mempertimbangkan bahwa perceraian bukanlah pilihan yang terlalu buruk ketika kekerasan dalam rumah tangga terjadi, apalagi bila kekerasan tersebut dapat menghilangkan nyawa perempuan dan anak?
Bahkan setelah diperbolehkan, perceraian masih bukan pilihan mudah bagi seorang perempuan Indonesia karena biaya penyelesaian kasus perceraian rata-rata sekitar Rp 2 juta atau US$ 220 per kasus. Jumlah ini mencapai 10 kali pendapatan bulanan seorang perempuan miskin.
Di daerah pedesaan, perempuan sangat dirugikan karena –dibanding laki-laki– mereka kemungkinan memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah, kurang mampu bepergian bahkan untuk pergi ke pengadilan, memiliki lebih sedikit uang untuk membayar layanan pengadilan dan menghadapi diskriminasi lebih lanjut di masyarakat karena status mereka sebagai janda.
Selain itu, sistem hukum Indonesia belum memperlakukan perempuan secara adil karena Kitab Undang-Undang Hukum Perdata masih mencegah perempuan membuat kontrak atas nama mereka sendiri, termasuk untuk menjual atau membeli properti. Akses kepemilikan lahan juga tergantung pada status perkawinan perempuan dimana kontrol dan kepemilikan tahan dapat hilang karena perceraian, meninggalnya atau perginya suami, atau diabaikan oleh suami.
Oleh karena itu RUU KKG bisa menjadi cara untuk menegaskan kembali perlindungan perempuan di samping, dan sebagai tambahan untuk, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan tahun 1984 dan UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga tahun 2004.
Alasan keempat adalah untuk menghilangkan bias gender dalam sistem pendidikan Indonesia, dimana perempuan hamil masih dipaksa berhenti sekolah. Pada tahun 2011, Bank Dunia mengevaluasi buku pelajaran yang digunakan di berbagai kelas bahasa Indonesia dan menemukan bahwa buku-buku tersebut mengandung pesan bias gender mengenai pelecehan seksual, kekerasan berbasis gender dan stereotip yang diberikan bagi perempuan dan laki-laki.
Namun bagaimanapun juga, menghilangkan kurikulum bias gender belum tercakup dalam draft RUU KKG yang sedang dibahas.
Rancangan Undang-Undang tersebut hanya mengusulkan bahwa "semua orang berhak memperoleh pendidikan di semua bidang dan jenjang pendidikan; dan mendapatkan beasiswa dan bantuan pendidikan lainnya" (Pasal 6). Proposal ini tidak terlalu buruk, mengingat bahwa di Indonesia anak perempuanlah yang lebih dulu ditarik dari sekolah jika keluarganya mengalami krisis keuangan atau gagal panen.
Memang benar bahwa banyak bagian dari RUU yang diusulkan masih dapat ditingkatkan, namun tidak ada keraguan bahwa negara ini membutuhkan Undang-Undang tentang Keadilan dan Kesetaraan Gender, serta membuat hukum dan peraturan lainnya lebih sensitif terhadap gender.
Perlu diingat bahwa penegakan hukum yang efektif dan sistem peradilan yang berjalan harus hadir untuk mendukung hukum-hukum ini, jika tidak, keberadaan mereka tidak akan membuat perbedaan.
Oleh Fitri Bintang Timur
* Penulis adalah peneliti gender dan keamanan di S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University
Tulisan asli dalam Bahasa Inggris bisa dilihat di link berikut: http://www.thejakartapost.com/news/2012/07/17/why-we-need-a-gender-equality-bill.html.
0 Response to "Mengapa Indonesia Perlu UU Kesetaraan Gender"
Posting Komentar