
Dengan timbulnya Arab Spring akhir-akhir ini, sepertinya telah timbul euphoria di kalangan gerakan Islam di Indonesia, yang menimbulkan harapan baru di kalangan Islamis dan Salafis, bahwa peristiwa yang sama dapat terjadi juga di Indonesia.
Ketika Ikhwan al-Muslimin memenangkan pemilihan legislatif (pileg) dan kemudian pemilihan presiden (pilpres), timbul pemikiran bahwa kaum Islamis di Indonesia bisa dan perlu belajar dari Mesir. Tapi, di lain pihak, timbul reaksi, lebih-lebih setelah hasil pileg dibubarkan oleh kelompok militer yang de facto masih berkuasa, bahwa bukan kita di Indonesia harus belajar kepada IM atau gerakan Arab Spring, melainkan merakalah yang perlu belajar dari Indonesia.
Tapi, jika Arab Speing perlu belajar dari Indonesia atau Islam Indonesia, apa yang perlu dipelajari? Atau apakah Arab Spring perlu belajar dari pengalaman Indonesia? Sebab, gerakan Islamis pernah mengalami kegagalan di Indonsia. Tapi, sebaliknya Islamisme Indonesia telah mengalami metamorfose yang melahirkan suatu model “Islam Indonesia” yang perlu dipelajari.
Saya sendiri berpendapat bahwa jika Arab Spring dimaksudkan sebagai “musim semi demorasi di Dunia Arab,” maka mereka harus belajar dari Indonesia. Namun, sebakliknya, gerakan Islamisme yang lahir kembali di Indonesia, karena kegagalan-kegagalannya di masa lalu, perlu belajar dari perkembangan Arab Spring yang masih berada dalam tahap krisis hingga hari ini.
Saya sendiri berpendapat bahwa jika Arab Spring dimaksudkan sebagai “musim semi demorasi di Dunia Arab,” maka mereka harus belajar dari Indonesia. Namun, sebakliknya, gerakan Islamisme yang lahir kembali di Indonesia, karena kegagalan-kegagalannya di masa lalu, perlu belajar dari perkembangan Arab Spring yang masih berada dalam tahap krisis hingga hari ini.
Lalu, apa yang perlu dipelajari dari Indonesia? Apakah Indonesia mempunyai model “Islam Indonesia” yang berbeda dari Islam mainstream Dunia Islam terutama Dunia Arab?
Saya berpendapat bahwa Islam Indonesia memang mempunyai pola perkembangan yang tersendiri, yang berbeda dengan perkembangan Islamisme pada umumnya. Paling tidak, ada dua pengertian mengenai Islamisme di Indonesia. Pertama, Islamisme dalam pengertian Sukarno yang dicoba dirumuskan kembali oleh Nurdholish Madjid. Kedua, Islamisme yang bersumber dari pemikiran Mohammad Natsir yang sejalan dengan Islamisme di Dunia Islam umumnya, khususnya IM. Namun, Islamisme kontemporer, yang bertolak dari pemikiran Sukarno, masih harus dirumuskan kembali melalui dekonstruksi dan rekonstruksi pemikiran.
Saya melihat bahwa akhir-akhir ini telah timbul upaya-upaya melakukan identifikasi mengenai “Islam Indonesia,” namun yang muncul adalah Islam ortodokks seperti NU, Muhammadiyah dan MUI, yang merupakan wujud dari Islam moderat dan kemudian timbul kembali Islamisme sebagai gerakan Islam politik radikal atau revivalisme. Sebagai reaksi, timbul gagasan Islam liberal yang diprakarsai oleh Luthfi Assyaukanie-Ulil Abshar-Abdalla. Tapi, setelah terjadi penolakan dan stigmatisasi, Zuairi Misrawi merasa gerah dalam rumah Islam liberal dan memunculkan gagasan “Muslim-Moderat” yang direflesikan oleh tulisan-tulisannya yang dikumpulkannya menjadi sebuah buku “Muslim Moderat” (2010). Ia juga membentuk Moderat Moslem Society sebagai komunitas muslim moderat. Sebelumnya, seorang intelektual muda Muhammadiyah, Syamsul Arifin, juga mengampulkan tulisan-tulisannya ke adalam sebuah buku yang diberinya judul Islam Indonesia (1993) yang berisikan elemen-elemen pemikiran Islam Indonesia, tapi intinya adalah konsep civil Islam dalam bingkai kesadaran berdemokrasi. Mirip dengan gagasan itu, Hadimulyo, seorang aktivis Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) ingin menyegarkan kembali gagasan “Islam-Pancasila” yang memahami Pancasila sebagai ideologi Islam Indonesia sebagaimana pernah digagas oleh Harun Nasution dan Munawir Sadzali.
Dalam pergumulan gagasan itu, terilhami oleh kejadian Arab-Spring, timbul gagasan dalam benak saya mengenai “Islam Indonesia” atau “Islam Nusantara.” Hipotesa saya pada dasarnya adalah bahwa proses wacana Islamisme Indonesia telah mengalami perkembangan atau metamofose menjadi “Islam Indonesia,” yaitu gagasan keislaman yang bergelut dalam pemikiran yang disebut “Filsafat Nusantara,” sejak Kartini, Dr. Sutomo, hingga Sjafruddin Prawiranegara. Tapi, intinya adalah gagasan di sekitar “Indonesia Merdeka” yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Gagasan itu diawali oleh pamflet Tan Malaka “Menuju Republik Indonesia” (terbit pertama tahun 1924) yang dikembangkan menjadi buku Madilog, ditulis pada tahun 1942, tapi baru terbit tahun 1946, diikuti dengan pamflet Hatta “Menuju Indonesia Merdaka” tahun 1928 dan pamflet Sukarno “Mencapai Indonesia Merdeka” tahun 1936.
Di antara tiga pamflet utama itu, filsafat Nusantara diperkaya oleh pemikiran-pemikiran St. Takdir Alisjahbana tentang “Masyarakat baru Indonesia” dan M. Natsir tentang “Kebudayaan Islam,” keduanya ditulis pada tahun 1936. Menjelang proklmasi kemerdakaan, tampil dua gagasan penting: Sukarno tentang Pancasila dan konsep Negara Integralistik Supomo. Tapi, kedua gagasan yang mengarah kepada totalitarianisme itu diselamatkan oleh Sjahrir-Hatta yang mengembangkan demokrasi konstiotusional-liberal. Khususnya Sjahrir berperan penting melalui pamfletnya “Perjuangan Kita” (1946) sebagai sumber gagasan demokrasi-liberal yang mencegah totalitarianisme, khususnya feodalisme, fasisme dan militerisme yang melanda Dunia Islam setelah berdirinya negara-negara bangsa Muslim di Dunia Arab. Pamflet itu, menurut pendapat saya, bagaikan buku The Road to Serfdom yang ditulis Fredrich A. Hayek.
Pembahasan mengenai Filsafat Nusantara itu sudah dimulai dengan buku Sejarah Filsafat Nusantara yang berisikan kumpulan tulisan mengenai empat tokoh utama di sekitar proklamasi kemerdakaan, yaitu Tan Malaka, Sukarno, Hatta dan Sjahrir. Saya merasa pembahasan itu belum cukup komprehensif. Karena itu, di bulan Ramadhan ini, saya berniat menulis buku yang berjudul Islam Nusantara. Sebagai ancang-ancang, saya menulis naskah “Belajar dari Filsafat Nusantara” untuk rubrik “Pemandangan” di Jurnal Ulumul Qur’an dan “Proyek Islam Indonesia’ yang berada di tangan Anda. Saya memohon tanggapan dan komentar dari teman-teman sekalian.
Wassalam,
M. Dawam Rahardjo
Saya melihat bahwa akhir-akhir ini telah timbul upaya-upaya melakukan identifikasi mengenai “Islam Indonesia,” namun yang muncul adalah Islam ortodokks seperti NU, Muhammadiyah dan MUI, yang merupakan wujud dari Islam moderat dan kemudian timbul kembali Islamisme sebagai gerakan Islam politik radikal atau revivalisme. Sebagai reaksi, timbul gagasan Islam liberal yang diprakarsai oleh Luthfi Assyaukanie-Ulil Abshar-Abdalla. Tapi, setelah terjadi penolakan dan stigmatisasi, Zuairi Misrawi merasa gerah dalam rumah Islam liberal dan memunculkan gagasan “Muslim-Moderat” yang direflesikan oleh tulisan-tulisannya yang dikumpulkannya menjadi sebuah buku “Muslim Moderat” (2010). Ia juga membentuk Moderat Moslem Society sebagai komunitas muslim moderat. Sebelumnya, seorang intelektual muda Muhammadiyah, Syamsul Arifin, juga mengampulkan tulisan-tulisannya ke adalam sebuah buku yang diberinya judul Islam Indonesia (1993) yang berisikan elemen-elemen pemikiran Islam Indonesia, tapi intinya adalah konsep civil Islam dalam bingkai kesadaran berdemokrasi. Mirip dengan gagasan itu, Hadimulyo, seorang aktivis Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) ingin menyegarkan kembali gagasan “Islam-Pancasila” yang memahami Pancasila sebagai ideologi Islam Indonesia sebagaimana pernah digagas oleh Harun Nasution dan Munawir Sadzali.
Dalam pergumulan gagasan itu, terilhami oleh kejadian Arab-Spring, timbul gagasan dalam benak saya mengenai “Islam Indonesia” atau “Islam Nusantara.” Hipotesa saya pada dasarnya adalah bahwa proses wacana Islamisme Indonesia telah mengalami perkembangan atau metamofose menjadi “Islam Indonesia,” yaitu gagasan keislaman yang bergelut dalam pemikiran yang disebut “Filsafat Nusantara,” sejak Kartini, Dr. Sutomo, hingga Sjafruddin Prawiranegara. Tapi, intinya adalah gagasan di sekitar “Indonesia Merdeka” yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Gagasan itu diawali oleh pamflet Tan Malaka “Menuju Republik Indonesia” (terbit pertama tahun 1924) yang dikembangkan menjadi buku Madilog, ditulis pada tahun 1942, tapi baru terbit tahun 1946, diikuti dengan pamflet Hatta “Menuju Indonesia Merdaka” tahun 1928 dan pamflet Sukarno “Mencapai Indonesia Merdeka” tahun 1936.
Di antara tiga pamflet utama itu, filsafat Nusantara diperkaya oleh pemikiran-pemikiran St. Takdir Alisjahbana tentang “Masyarakat baru Indonesia” dan M. Natsir tentang “Kebudayaan Islam,” keduanya ditulis pada tahun 1936. Menjelang proklmasi kemerdakaan, tampil dua gagasan penting: Sukarno tentang Pancasila dan konsep Negara Integralistik Supomo. Tapi, kedua gagasan yang mengarah kepada totalitarianisme itu diselamatkan oleh Sjahrir-Hatta yang mengembangkan demokrasi konstiotusional-liberal. Khususnya Sjahrir berperan penting melalui pamfletnya “Perjuangan Kita” (1946) sebagai sumber gagasan demokrasi-liberal yang mencegah totalitarianisme, khususnya feodalisme, fasisme dan militerisme yang melanda Dunia Islam setelah berdirinya negara-negara bangsa Muslim di Dunia Arab. Pamflet itu, menurut pendapat saya, bagaikan buku The Road to Serfdom yang ditulis Fredrich A. Hayek.
Pembahasan mengenai Filsafat Nusantara itu sudah dimulai dengan buku Sejarah Filsafat Nusantara yang berisikan kumpulan tulisan mengenai empat tokoh utama di sekitar proklamasi kemerdakaan, yaitu Tan Malaka, Sukarno, Hatta dan Sjahrir. Saya merasa pembahasan itu belum cukup komprehensif. Karena itu, di bulan Ramadhan ini, saya berniat menulis buku yang berjudul Islam Nusantara. Sebagai ancang-ancang, saya menulis naskah “Belajar dari Filsafat Nusantara” untuk rubrik “Pemandangan” di Jurnal Ulumul Qur’an dan “Proyek Islam Indonesia’ yang berada di tangan Anda. Saya memohon tanggapan dan komentar dari teman-teman sekalian.
Wassalam,
M. Dawam Rahardjo
DOWNLOAD MAKALAH MAS DAWAM "PROYEK ISLAM INDONESIA"
0 Response to "Pengantar "Proyek Islam Indonesia""
Posting Komentar