Pada Maret 2007 nanti Jaringan Islam Liberal alias JIL genap berusia
enam tahun. Sebuah usia yang masih sangat muda untuk perjalanan suatu
pemikiran, meski mendapat sambutan yang sangat luas di khalayak
publik Islam (di) Indonesia.
Respons publik terhadap gagasan yang dilontarkan JIL selama ini dapat
dibaca sebagai sebuah prestasi yang sangat mengagumkan untuk
perjalanan sebuah pemikiran dengan segala kontroversi yang
mengikutinya.
Dari sekian respons balik yang ditujukan terhadap pemikiran yang
diusung oleh JIL selama ini sebagaimana yang tercermin di media
massa, diskusi publik, bahkan sekadar gosip di sekitarnya ternyata
tidak secara tajam mampu menelisik kerangka bangunan pikiran yang
menopang dan mengukuhkan klaim-klaim JIL atas pembaruan Islam.
Diskusi dan kontroversi di sekitarnya masih jauh dari iklim
pertukaran gagasan yang kritis dan bernas.
Perangkap tekstualisme
Para eksponen JIL secara umum mengajukan kritik terhadap beberapa
kelompok dalam Islam yang antipembaruan menampik keragaman tafsir,
historisitas teks-teks suci, universalisme Islam, emoh terhadap
sekularisme, dan antiliberalisme. Dengan kata lain, kelompok
antipembaruan terperangkap dalam literalisme, lalu menutup
kemungkinan kreativitas tafsir.
Literalisme sebagai biang keladi radikalisme dan konservatisme
pemikiran juga tak sepenuhnya benar. Benarkah ada literalisme dalam
pemahaman keagamaan? Pertanyaan ini patut diajukan untuk menguji dan
menelusuri kekeliruan pandangan mengenai apa yang disebut literalisme
dalam tafsir-tafsir keagamaan, terutama Islam.
Literalisme sering diasosiasikan dengan ikhtiar pemahaman keagamaan
yang mengklaim sepersis mungkin makna sebuah teks. Dalam literalisme
seakan ada korespondensi antara teks dan makna yang dihasilkannya.
Kepercayaan pada makna literal sebuah teks bersumber dari pemilahan
antara yang literal dan yang metaforis dalam bahasa. Asumsi mengenai
bahasa literal dan metaforis diturunkan berdasarkan dualisme
metafisis mengenai dunia intelligible dan sensible dalam filsafat
bahasa.
Dalam kenyataannya, pemilahan ini ditetapkan secara arbitrer; seakan
ada makna murni dan makna tidak murni dari bahasa. Sebaliknya, bahasa
tidak pernah transparan pada dirinya. Bahasa diwarnai oleh antinomi,
heterodoks, bahkan terkontaminasi. Selalu ada jarak antara tanda dan
penanda, konsep dan realitas, bahasa dan makna. Tidak ada hubungan
yang alamiah antara bahasa dan makna, sebagaimana selalu ada jarak
antara konsep dan kenyataan.
Tidak ada substansi, stabilitas, stasiun tetap, bahkan posisi dalam
kerangka bahasa, baik kelisanan maupun keberaksaraan, apalagi
literalisme. Dengan demikian, saya menganggap
istilah “literalisme” , “skripturalisme” , dan seterusnya adalah
problematik dalam kerangka hermeneutika sebagaimana sering
diungkapkan JIL. Dalam perjumpaan dengan para pengkritiknya, JIL
selalu mengutarakan tafsir tandingan yang dianggap benar, atau
sekurang-kurangnya mendekati kebenaran. Bukankah strategi ini
terperangkap dalam monisme yang sama, yaitu tekstualisme.
Perangkap tekstualisme ini menunjukkan kelemahan mendasar metodologi
hermeneutika JIL. Maka, kita sering menyaksikan parade klaim
kebenaran tafsir dalam perdebatan JIL dengan para pengkritiknya di
panggung-panggung seminar, juga di media massa. Parade klaim
kebenaran ini memunculkan politics of nemesis, yaitu politik
permusuhan, pembalasan, dan antipati dari lawan-lawannya.
Apa yang ditampilkan JIL dalam wilayah tafsir lebih bermuatan dan
menonjolkan “kenakalan intelektual” ketimbang usaha serius
merekonstruksi pemikiran Islam yang berjejaring dengan kenyataan,
atau sebagai respons kritis terhadap dinamika perubahan yang
seharusnya diantisipasi oleh umat Islam di hari kini. Rekonstruksi
atas Islam dalam posisinya yang dilematis berhadapan dengan
kemodernan dan keindonesiaan, seperti yang dilakukan Cak Nur dan
eksponen pembaru Islam di awal tahun 1970-an hingga akhir 1990-an,
memiliki semangat dan watak yang berbeda dengan eksponen JIL saat
ini.
Modernitas negatif
Apa yang dialami umat Islam di hari kini sesungguhnya lebih
mencerminkan suatu ambiguitas dalam berhadapan dengan modernitas
Barat. Di dunia Barat, modernitas merupakan konsekuensi logis
sekularisasi yang telah dirintis oleh para pembela pencerahan.
Sejarah Barat, sebagaimana pernah dikemukakan oleh Jacques Derrida,
memang diwarnai luka terhadap segala dominasi otoritas keagamaan,
sehingga membuahkan maklumat “kematian Tuhan”.
Adapun sejarah Islam dan Judaisme sama sekali berbeda dengan apa yang
mendera Kristiantisme Barat. Baik Judaisme maupun Islamdengan segala
kontroversi di jantung teologinya tidak pernah berbuah ateisme,
apalagi nihilisme. Pertikaian tafsir di dalam sejarah Islam malah
dilegitimasi sebagai berkah, bukan bencana.
Lalu, di manakah pangkal soalnya? Di dunia Barat yang Kristiani,
sekularisasi yang melahirkan modernisme, memberi penghargaan pada
otonomi, subyektivitas, dan kritisisme yang memberi ruang bagi
perkembangan sains sehingga meraih pencapaian yang menakjubkan.
Sementara respek pada kebebasan membuka kemungkinan bagi kesetaraan
warga negara dalam konteks negara-bangsa konstitusional modern. Dalam
konteks ini kita melihat paralelisme antara sekularisasi, modernitas,
dan kebebasan.
Sebaliknya, paralelisme itu tidak terjadi terhadap dunia Islam.
Modernisasi dengan segala ikon yang termuat di dalamnya dialami
secara negatif. Tidak sebagaimana dialami dunia Barat, dunia Islam
memasuki modernitas dengan segala atributnya: nasionalisme,
demokrasi, kapitalisme, dan tekno-sains justru sebagai imposisi dari
luar. Formasi negara-bangsa dengan nasionalisme sebagai ideologi
perlawanan di dunia Islam sering jadi retorika politik kaum elite
untuk bertindak otoriter dan despotik.
Demokrasi pun berlangsung tanpa disertai perluasan basis- basis
produksi di tingkat massa, kapitalisme malah menjadi momok bagi kaum
miskin. Tapi, tragisnya kita menjadi konsumen setia hasil
perkembangan tekno-sains modern. Maka, modernitas pada akhirnya
berbuah kutuk, bukannya berkah.
Bertolak dari kenyataan ini pula, apa yang disebut “pembaruan” oleh
JIL dengan mendesakkan kebebasan tafsir atas teks-teks suci hanya
berhenti di wilayah hermeneutika. JIL mungkin tampil menjadi salah
satu varian tafsir atas Islam, tapi tidak berdaya menghadapi realitas
material masyarakat yang masih bergulat dengan problem kesenjangan
atau kegagalan negara merealisasikan cita-cita kesejahteraan dan
keadilan.
Rasio dan komitmen sejarah
Membaca realitas yang ‘centang-perenang’ dengan mendedahkan kebebasan
tafsir sungguh bukan jalan keluar yang meyakinkan. Pada level
diskursus teologis, JIL berjasa dengan tetap mempertahankan posisi
akal budi di hadapan teks-teks suci. Namun, pada level praksis,
ikhtiar JIL itu tak berbunyi apa- apa. Hanya menghantam langit kosong
sejarah: sejarah pertarungan menegakkan keadilan dan melawan
pemiskinan struktural. Kekuatan sebuah pemikiran bukan hanya harus
memenuhi syarat koherensi, metode, dan teoritik tertentu, tetapi juga
kesanggupannya mengungkapkan kontradiksi, negativitas, dan diagnosa
terhadap distorsi-distorsi kekuasaan yang terus berlangsung.
Kekuatan sebuah pemikiran, juga pemikiran keagamaan, terletak pada
kemampuannya untuk mempertalikan teori dan krisis obyektif yang
berlangsung dalam sejarah masyarakat. Khazanah pemikiran berhenti
sebagai idealisme ketika tidak berjejak pada kondisi sosial-historis
masyarakat, dan krisis-krisis yang menyertainya. Rasio tidak
beroperasi di luar sejarah, tapi justru merealisasikan diri dalam
mengatasi rintangan diri dalam dan melalui sejarah.
Di sisi lain, kaum liberal memahami kebebasan sebagai ketiadaan
intervensi dan dimengerti sebagai otonomi yang sepenuhnya
individualistik. Gagasan mengenai kebebasan yang diusung kaum liberal
ini merupakan konsep yang diwariskan kaum borjuis mengenai otonomi
diri. Fiksi mengenai otonomi diri ini mengabaikan kenyataan
investigasi secara mendalam mengapa seseorang menetapkan atau
memutuskan pilihannya.
Rasio dengan komitmen pada perbaikan “kehidupan politis” yang lebih
sehat, mendorong partisipasi, pemerkuatan sendi- sendi kehidupan
demokratis, dan hukum kurang mendapat perhatian dari para eksponen
JIL. Dukungan pada kenaikan harga BBM, minimnya perhatian pada
ketidakadilan struktural, gagalnya negara melindungi kaum miskin,
adalah eksemplar dari apatisme JIL pada masa depan negara-bangsa
sebagai proyek bersama.
Sebuah pemikiran, betapa- pun memesona, hanya dapat bertahan dan
meraih konstituensi yang luas karena negasinya atas kenyataan yang
timpang dan eksploitatif. Kecanggihan tafsir dalam rangka memperkaya
warna-warni hermeneutika Islam mungkin hanya berakhir menjadi
kegenitan intelektual, bahkan menanggung nasib daya pukau menara
gading.
Bukankah iman, rasio, bahkan filsafat, memikul tanggung jawab untuk
merespons dan bergerak di dalam realitas obyektif sejarah
masyarakatnya, dan bukan sebaliknya. Bila pemikiran keagamaan
termasuk yang diusung oleh JIL selama ini melepaskan diri dari
tanggung jawab terhadap sejarah yang berlangsung, bukan mustahil
radikalisme justru semakin menguat karena dianggap lebih mewakili
artikulasi mayoritas yang termarjinalisasikan oleh struktur kekuasaan
ekonomi-politik yang menindas.
Setiap pemikiran yang diam terhadap pengalaman negatif sejarah
masyarakatnya patut dicurigai sebagai ideologi untuk melanggengkan
hegemoni kelompok tertentu. Tampaknya adagium “The ruling ideas are
the ideas of the ruling class”, layak direnungkan.
Abdul ‘Dubbun’ Hakim Dosen Sejarah Filsafat Eropa; Direktur Pusat
Studi Islam dan Kenegaraan, Universitas Paramadina
http://www.kompas. com/kompas- cetak/0702/ 17/humaniora/ 3328449.htm
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Jil: Kritik pada Kritisisme ‘Kenakalan’"
Posting Komentar